Visitors

Sunday, March 1, 2015

Gadis Bugis (di perantauan) dan Budaya Uang Panai

Holaa March!



Sekarang saya masih sibuk bolak-balik revisi makalah kolokium ke dosen pembimbing, doain yaa bulan ini makalah penelitiannya sudah dapat persetujuan jadi bisa langsung kolokium. kemarin targetnya kolokium Januari, dan sekarang udah Maret aja masih belum kolokium padahal teman-teman yang lain sudah pada sibuk ngurus penelitian.
*disitu kadang saya merasa sedih :(

Oiya, tadi pas lagi jenuhnya ngerjain revisi makalah kolokium kepikiran buat buka Facebook. Dari semua media social yang saya punya, Facebook jadi urutan yang paling akhir berdasarkan intensitas online. Padahal dulu dia menjadi sahabat yang selalu setia menemani masa-masa alay :D


tapi seiring berjalannya waktu, Facebook mulai saya tinggalkan dan beralih ke path dan instagram. kekinian banget kan!

By the way, back to facebook!


Tadi siang pas lagi buka akun facebook, tiba-tiba nemu postingan hasil share teman tentang "BUDAYA MAHAR (Uang Panai) GADIS SUKU BUGIS MAKASSAR"
karena saya gadis bugis asli yang lagi berada di tanah Jawa, kadang sering ciut dengan prototype orang-orang mengenai perempuan bugis yang "katanya" seperti dijual oleh orang tuanya gara-gara uang mahar yang tinggi.

"kok cewek bugis, maharnya harus tinggi ya? jangan mahal-mahal nanti gaada yang mau nikahin" atau yang lebih serem "pantesan banyak cewek bugis yang nikah pas udah tua (atau jadi perawan tua), maharnya tinggi banget sih",
kalimat-kalimat seperti itu yang kadang suka bikin ngeri sendiri -___-
gatau mau jawab apa yang ada dikepala cuma "amit-amit, naudzubillahimindzalik"
dari kecil juga taunya budaya bugis makassar memang seperti itu, walaupun kesannya seperti menjual anak gadisnya, tapi ternyata ada alasan dibalik budaya "Uang Panai".

(di-co-paste dari http://www.makassar.us/2014/02/budaya-mahar-uang-panai-gadis-suku.html  )


Budaya Mahar Gadis Suku Bugis Makassar, 

Ku buka pintu disaat fajar manjelma. Kicauan merdu burung yang hinggap di ranting pohon halaman rumahku. Melantunkan nada-nada hingga terangkai menjadi sebuah alunan musik yang begitu elok terdengar diteliga. Embun pagi yang menyapa dedaunan kini akan pergi bersama cahaya mentari. Meninggalkan aroma sejuk di pagi hari. Cahaya mentari begitu ramah menyapa hingga rela menembus rimbunan dedaun pohon dihadapan rumahku.

“Pagi yang cerah untuk jiwa yang tenang”. Kataku pada diri sendiri. Ditengah-tengah menikmati ketenangan pagi terdengar suara pintu dari kamar indo1. Indo yang berusia 80-an kini tak sekuat dulu. Tubuh yang termakan usia membuatnya kriput serta tulang yang kurang mampu menopang semangatnya. Namun, semangatnya selalu seperti diriku. Perlahan-lahan ia menghampiriku.

Duduk di dikursi bambu tempat favorit indo. Katanya kursi bambu itu dibuat oleh ambo2 jadi setiap duduk dikursi itu indo selalu mengingat almarhum ambo. Ada satu hal yang membuatku salut terhadap pasangan tua ini. Mereka selalu setia hingga ajal menjemput ambo. Semarah apapun indo kepada ambo atau sebaliknya tak pernah satu kalipun terdengar kata pisah antara mereka. Beda halnya dengan sekarang begitu mudahnya orang mengatakan cerai. Bahkan di media, diacara realitishow selalu saja terdengar kata cerai dari para artis-artis tanah air. Seakan-akan ini telah menjadi budaya.

Pandangan indo tertuju padaku seolah-olah dia paham dengan apa yang kupikirkan pada saat itu.
“apa yang sedang kamu pikirkan nak?”
“tidak nek, sebenarnya aku mau bertanya”
“bertanya apa nak?”
“mengapa mahar gadis Bugis-Makassar sangat mahal?
“emangnya kenapa nak kamu bertanya demikian atau kamu udah mau menikah?”
ia melirik padaku sambil tersenyum dan hal ini membuatku malu didepannya tapi mitos mahar gadis bugis-makassar begitu tersebar luas hingga beberapa waktu lalu salah satu teman dari jawa menanyakan
“mengapa mahar gadis bugis-makassar begitu mahal?”
aku hanya bisa menjawab
“mungkin itu salah satu budaya siri’3, dimana setiap keluarga yang memiliki anak gadis akan merasa malu ketika anaknya diberikan mahar murah”
Namun itu hanya pendapat pribadiku dan aku sendiri masih kabur dengan budaya tersebut.

Hal ini pun menjadi perbincanganku bersama indo. Indo yang pada saat itu sedang mangico, kembali bertanya padaku
“kenapa kamu menanyakan mahar gadis Bugis-Makassar?”
“Aku cuman ingin tahu nek, karena banyak orang yang menanyakan mengapa mahar gadis bugis-makassar begitu mahal? ada juga orang yang beranggapan bahwa mahar gadis Bugis-Makassar itu seperti barang yang diperjualbelikan” indo tersenyum mendengar penjelasanku.

“emm betul juga budaya ini akan menjadi ambigu bagi orang yang tidak paham. kalau dilihat sekilas emang sama dengan barang yang diperjualbelikan. tapi sebenarnya bukan itu maksudnya”. sambil membakar ico.
“jadi maksudnya apa nek?” aku semakin penasaran
“ya sebenarnya dahulu itu pada zaman penjajahan gadis-gadis Bugis-Makassar sangat terhina oleh para tentara belanda.”
“terhina bagaimana indo?” aku memotong penjelasan indo.
“aduh izinkan nenek bicara dulu dan jangan dipotong karena nenek bisa lupa apa yang nenek ingin katakan” indo menegurku karena aku terlalu semangat.
“iya nek maaf, aku tidak ada maksud”
“masih ingin dengar cerita nenek?”
“iya nek” ku anggukkan kepalaku bertanda setuju.
“udah sampai dimana cerita kita? aduh aku lupa kamunya sih ngajak nenek bicara, jadi kepotong ceritanya” Menepuk pahanya itu salah satu kebiasaan indo ketika melupakan sesuatu. Maklumlah sudah berumur.

“nek tadi ceritanya sampai di gadis Bugis-Makasssar pada zaman penjajahan”
“oh iya pada zaman dahulu itu gadis bugis sangat dihina dan para gadis ini tidak memiliki hak apapun terhadap dirinya sendiri. jadi setiap gadis pada saat itu harus merelakan dirinya untuk dinikahi oleh tentara belanda tanpa mahar sedikit pun. yang jadi masalah disini yaitu ketika telah dinikahi dan tentara itu melihat ada yang lebih baik dari istrinya maka ia akan beralih kewanita lain tanpa menghiraukan istri pertamanya. disinilah letak ketidak adilan.”

“jadi bagaimana kondisi gadis pada zaman itu nek?”
“nah pada saat itu kewenangan semua ada di tangan tentara belanda, sangat menyedihkan karena orang tua gadis-gadis pada saat itu hanya bisa melihat anaknya diperlakukan semena-mena mereka tidak bisa membela hak anaknya. jadi si gadis ini hanya pasrah dengan keadaan.”
“kasihan, jadi kapan mahar gadis Bugis-Makassar menjadi sesuatu yang mahal?”
“nah pada saat menjelang kemerdekaan tentara belanda meninggalkan kampung Bugis-Makassar karena berhasil diusir oleh para pemberontak. tapi kepergian belanda bukan berarti menghilangkan semua jejaknya masih ada ajaran-ajaran atau doktrin yang mereka tanamkan yaitu salah satunya tentang kebebasan untuk menikahi siapa saja dan berhak meninggalkan begitu saja. paham inilah yang masih dianut para lelaki di kampung Bugis-Makassar"

“apa maksudnya nek dengan ajaran tersebut?”.
“jadi doktrin belanda yang ditanamkan pada jiwa pemuda pada saat itu yakni seorang lelaki bisa berganti-ganti wanita sesuai keinginannya”.
“emm jadi setelah belanda meninggalkan kampung Bugis-Makassar, para gadis tetap saja masih belum memiliki kebebasan?”
“iya nak, nah dari permasalahan inilah ada seorang bangsawan memiliki seorang anak gadis yang begitu iya sayangi dan ia tidak ingin melihat anak gadisnya diperlakukan semena-mena oleh para pemuda yang jiwanya telah terdotrin oleh belanda. suatu ketika ada seorang pemuda yang terpikat melihat gadis bangsawan ini, ia pun memberanikan diri untuk melamar dengan menggunakan doktrin belanda yaitu tidak menggunakan mahar.
Namun orang tua si gadis bangsawaan ini tidak menerimanya karena hal yang ia lakukan merupakan sebuah pelecehan terhadap perempuan. Tidak ada sedikit pun bukti fisik keseriusan sang pemuda itu untuk menikahi sang gadis bangsawan. Jadi pada saat itu orangtua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang pemuda kalau ia ingin menikahi anak gadisnya dia harus menyediakan mahar yang telah ditentukannya. mahar yang diajukan sangatlah berat sang pemuda harus menyediakan material maupun non material. hal ini dilakukannya untuk mengangkat derajat kaum wanita pada saat itu.
Pergilah sang pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh orangtua si gadis. Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia rela melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan tabungan untuk meminang gadis pujaannya. setelah mencukupi persyaratan yang diajukan oleh orang tua si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si gadis merelakan anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut”.

“Nek apakah sang pemuda itu tidak merasa bahwa hasil kerja kerasnya hanya dihabiskan untuk menikah ataukah tidak ada kata menyesal pada dirinya?”.
“Tidak nak, dalam hati sang pemuda itu tidak pernah mengatakan menyesal bahkan iya sangat berterima kasih pada orangtua si gadis. Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah pelajaran yakni menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti. apalagi sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jerih payahnya sendiri itulah sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya”.

“Oh jadi mahalnya mahar gadis Bugis-Makassar bukan seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan menikah lagi maka sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya karena begitu sulitnya ia mendapatkan si gadis ini”. itu pernyataanku kepada indo. ia pun beranjak bangun dari kursi bambu berjalan keluar setiba dipintu ia membalikkan wajahnya kepadaku, berbalik dan membuka pintu. 

“Gimana, kamu sudah paham akan budaya mahar gadis Bugis-Makassar? jadi kamu tidak perlu lagi khawatir akan mahar, jika ada pemuda yang ingin meminangmu persilahkan saja datang kerumah dan katakan padanya jangan takut dengan budaya mahar orang Bugis-Makassar karena ia akan mendapatkan hal yang setimpal dengan apa yang ia keluarkan"

Dari pembicaran tadi ada hal yang menurutku sebuah pelajaran hidup dimana budaya mahar gadis Bugis-Makassar yang mahal ternyata memiliki makna. Bukan berarti bahwa gadis Bugis-Makassar dijadikan sebuah barang yang diperjual belikan dengan uang.

Tapi, dengan adanya mahar yang besar akan membuat si calon suami betul-betul memikirkan sematang-matang mungkin untuk menikah dan ketika telah menikah tak ada kata pisah atau cerai karena meminang gadis bugis-makassar butuh pengorbanan yang banyak. Akan sangat merasa rugi ketika akan dilepas begitu saja.

Percakapan pagi itu sangat bermakna bagiku, sejarah budaya mahar gadis Bugis-Makassar menjadi sebuah alat untuk mempertahankan derajat kaum hawa dalam dunia percintaan. Walaupun banyak pemahaman luar yang mengatakan gadis Bugis-Makassar nantinya banyak yang akan menjadi perawan tua jika budaya itu tetap diberlakukan. Namun, ketika makna dari budaya ini dipahami aku yakin budaya cerai-nikah yang sekarang menjamur akan terkikis.

Catatan kaki
Indo merupakan sebutan nenek dalam bahasa Bugis-Makassar.
Ambo merupakan sebutan kakek dalam bahasa Bugis-Makassar.
Siri merupakan sebuah budaya malu Bugis-Makassar, selalu ingin yang terbaik dari yang lain.
Mangico merupakan kegiatan menghisap tembakau kretek yang di buat khusus secara tradisional, mangico biasanya dilakukan oleh orang tua yang lanjut usia baik perempuan maupun laki-laki.
Ico merupakan rokok tembakau tradisional.

sekian penjelasan tentang budaya mahar gadis bugis makassar,

semoga setelah ini gak ada lagi orang-orang yang memandang gadis bugis seperti barang yang diperjualbelikan orang tuanya.
uang panai adalah budaya yang hingga saat ini masih dipegang oleh orang-orang bugis.
mengesampingkan besarnya biaya, maksud dan tujuan utama dari uang panai tersebut memberikan nilai dan pelajaran yang berharga tentang sebuah ikatan pernikahan.

karena kebudayaan adalah bagian dari Indonesia yang "bhinneka tunggal ika", maka pahamilah :)


selamat berakhir pekan!